NWDI Online. Com - Tanya: Bagaimana hukumnya pakaian terkena najis tidak bisa dimaklumi, namun tidak air untuk membasuhnya? bagaimana hukumnya jika shalat dengan pakaian seperti ini?
Jawab:
Salah satu syarat sahnya salat adalah menutup aurat. Untuk laki-laki, auratnya dari pusar sampai lutut. Bagi perempuan, auratnya seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Aurat sendiri diartikan sebagai sesuatu yang wajib ditutupi di dalam ataupun di luar salat. Sesuatu yang dijadikan penutup aurat harus mencegah terlihatnya warna kulit. Dalam artian tidak transparan.
Salat yang dilakukan dalam ruangan yang gelap tetap harus menutup aurat. Ia tidak beralasan tidak ada orang yang melihat. Karena ruangan gelap tidak mencukupi syarat sebagai penutup aurat. Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad Al Husaini berkata:
واما ستر العورة Ùواجب مطلقا Øتى ÙÙŠ الخلوة والظلمة على Ø§Ù„Ø±Ø§Ø¬Ø Ù„Ø§Ù† الله تعالى اØÙ‚ ان يستØيا منه
Waamma satrul ‘auroti fawajibun muthlaqon hatta filkholwati wadhulmati alarrajihi liannallaha ta’ala ahaqqu an yustahya minhu.
Adapun menutup aurat hukumnya adalah wajib secara muthlaq hingga di tempat sepi dan di tempat yang gelap menurut pendapat yang lebih rajih. Karena sesungguhnya Allah SWT. lebih berhak untuk disegani. (Kifayatul Akhyar Juz I)
Selain harus mencegah terlihatnya warna kulit, penutup aurat harus suci dari najis. Dalam artian tidak cukup jika hanya menutup aurat dengan sempurna, akan tetapi harus bersih. Sebaliknya, jika hanya suci tetapi tidak menutupi, itu juga tidak cukup.
Selain itu, Imam Asy-syirazi mensyaratkan sahnya solat itu dengan menutup aurat.
(وَأَمَّا طَهَارَة٠الثَّوْب٠الَّذÙÙŠ ÙŠÙصَلّÙÙŠ ÙÙيه٠ÙÙŽÙ‡ÙÙŠÙŽ شَرْطٌ ÙÙÙŠ صÙØَّة٠الصَّلَاة٠وَالدَّلÙيل٠عَلَيْه٠قَوْلÙه٠تعالي " وثيابك Ùطهر "Â
Imam Asy-syirazi berkata, Kesucian pakaian yang digunakan untuk menunaikan shalat merupakan syarat sah shalat. Dalilnya adalah firman Allah swt, "Dan bersihkanlah pakaianmu".
ÙÙŽØ¥Ùنْ كَانَ عَلَى ثَوْبÙه٠نَجَاسَةٌ غَيْر٠مَعْÙÙوّ٠عَنْهَا وَلَمْ يَجÙدْ مَاءً يَغْسÙÙ„Ùهَا بÙه٠صَلَّى عريانا ولا يصلي ÙÙŠ الثوبÂ
Jika pada pakaiannya terdapat najis yang tidak dimaklumi (غَيْر٠مَعْÙÙوّ٠عَنْهَا), namun dia tidak mendaparkan air untuk membasuhnya, maka dia menunaikan shalat dengan telanjang dan tidak menunaikan shalat dengan pakaian yang terkena najis.Â
قال ÙÙŠ الْبÙوَيْطÙيّ٠وَقَدْ Ù‚Ùيلَ ÙŠÙصَلّÙÙŠ ÙÙيه٠وَيÙعÙيدÙ
Pendapat ini dikatakan (oleh Asy-syafi'i) dalam kitab At Buwaithi'. Ada yang mengatakan bahwa dia boleh menunaikan shalat dengan pakaian tersebut, namun dia harus mengulangi shalatnya (saat mendapatkan air).Â
 وَالْمَذْهَب٠الْأَوَّل٠لÙأَنَّ الصَّلَاةَ مَعَ الْعÙرْي٠يَسْقÙط٠بÙهَا الÙرض ومع النجاسة لا يسقطÂ
Madzhab kami menganut pendapat pertama, karena shalat dengan telanjang dapat menggugurkan kewajiban, sementara dengan najis tidak menggugurkan kewajiban (karena shalatnya harus diulang).
Ùَلَا يَجÙوز٠أَنْ تÙتْرَكَ صَلَاةٌ يَسْقÙط٠بÙهَا الْÙَرْض٠إلَى صَلَاة٠لَا يَسْقÙط٠بÙهَا الْÙَرْضÙ)
Maka tidak boleh meninggalkan shalat yang dapat menggugurkan kewajiban untuk menunaikan shalat yang tidak menggugurkan kewajiban.
Kesimpulan
Pertama, orang yang pakaianya najis dan air tidak cukup atau tidak ada yang mau digunakan untuk mencuci, maka salatlah dalam keadaan telanjang. Salatnya dihukumi sah dan tidak perlu diulang. Kedua, salat dengan pakaian kotor tersebut. Akan tetapi wajib mengulanginya di lain kesempatan. Dari kedua pendapat tersebut yang lebih diunggulkan adalah pendapat yang pertama. Tetap shalat meskipun keadaan telanjang. (Lihat Kitab Kifayatul Akhyar Just I) Wallohu A'lam. (red).
Komentar