default ads banner CODE: NEWS / LARGE LEADERBOARD / 970x90

Child Free Dalam Timbangan Muslimah

Child Free Dalam Timbangan Muslimah
Opini
default ads banner CODE: NEWS / BANNER 1 / 468x60

NWDI Online. Com - Akhir-akhir ini, istilah Childfree kembali menyeruak di telinga masyarakat lantaran spekulasi para selebriti tanah air, seperti artis Cinta Laura dan Gita Sav, youtuber asal Indonesia yang tinggal di Jerman. Keputusan mereka untuk menganut Childfree telah memantik berbagai respon dari banyak kalangan. Beragam platform mediapun turut memberikan tanggapannya sesuai perspektif masing-masing.

Childfree secara sederhana adalah pilihan untuk tidak mempunyai anak (pasca menikah). Pilihan tidak mempunyai anak berbeda dengan tidak bisa mempunyai anak karena faktor biologis. Childfree by choice dan bukan disebabkan alasan medis. Childfree adalah lifestyle yang secara sadar dipilih seseorang karena pertimbangan ekonomi, sosial, maupun mental. Isu lingkungan dan mental health turut menjadi pertimbangan penganut childfree sampai saat ini. Kecenderungannya, Childfree menganggap keberadaan anak sebagai beban keluarga.

Secara praktis, childfree tidak dapat dipisahkan dari diskursus relasi perempuan dan anak. Perempuan dianggap sebagai pemilik kedaulatan mutlak tubuhnya sendiri. Paham materialism menyebutnya dengan my body is mine. Keputusan memiliki anak tergantung kesediaan perempuan itu sendiri.

Perempuan dan Anak dalam Al Qur'an 

Al Qur'an menyatakan dalam beberapa ayat, "Kami ciptakan perempuan dari natur laki-laki dan dari esensi yang sama dengan esensi laki-laki.","Yang menciptakan kamu dari esensi yang tunggal dan menciptakan darinya pasangannya."(QS.An-Nisa (4):1). Al-Qur’an tiada menistakan perempuan berkenaan dengan kualitas intrinsik, esensial, dan struktur bawaannya. Bahkan Al-Qur'an mengabadikan nama-nama perempuan yang bertakwa, terhormat, dan terkemuka seperti Khadijah, Fatimah, Maryam dan seterusnya. Perempuan berkedudukan sama dengan laki-laki dalam perjalanannya menuju al-Haqq. 

Terkait anak, Allah SWT berfirman, "Kepunyaan Allåh-lah Kerajaan Langit dan Bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia menganugerahkan anak-anak perempuan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya dan menganugerahkan anak-anak lelaki kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, atau Dia menganugerahkan anak laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa saja yang dikehendaki-Nya. Sungguh-sungguh Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. As-syuro(42): 49-50). Ayat tersebut menekankan kuasa takdir Allah dan kedudukan anak sebagai anugerah kehidupan. 

Dalam diskusi bersama Dr. Rahmatul Husni, Dosen Universitas Ibn Khaldun Bogor sekaligus guru Pesantren for the Study of Civilization, beliau memaparkan bahwa inti dari pernikahan adalah memiliki keturunan yang saleh dan menjadi pemimpin yang bertaqwa. Artinya, kesediaan memiliki anak, kemudian mendidik dan mengasuhnya adalah implementasi dari misi kekhalifahan. Perempuan yang mengandung, melahirkan dan menyusui anaknya juga implementasi misi kekhalifahan. Bahkan ia adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. 

Relasi Perempuan dan Anak Secara Esensial Biologis

Seorang feminis Alice Rossi berpendapat bahwa tidak ada satu masyarakatpun yang dapat menggantikan figur ibu sebagai figur pengasuh, kecuali dalam kasus-kasus yang jarang terjadi di mana ada wanita tertentu yang terdeviasi dari kecenderungan sifat normalnya. (Ratna Megawangi.1999: 98). Perempuan adalah manusia yang dianugerahi pengalaman reproduksi seperti menstruasi, hamil, dan menyusui. Kemampuan inilah yang membedakan nature perempuan dengan laki-laki.  

Rossi berpendapat bahwa selain kemampuan biologis, perempuan juga mendapatkan pengalaman psikologis tersendiri dalam proses kehamilan, melahirkan, dan menyusui. Perubahan hormon ini disebut Megawangi sebagai sifat feminin. Sifat feminin inilah yang dibutuhkan oleh bayi nantinya. Tanpa adanya figur feminin yang mengasuhnya, kelangsungan hidup manusia tak dapat berjalan secara sehat. (Ratna Megawangi.1999: 96) Nyatanya, memang proses reproduksi dan pengalaman psikologis perempuan pada titik tertentu akan bersatu dengan anak. Alam telah merestui jalan relasi fisik dan emosional perempuan dan anak secara esensial.

Diferensiasi dan Konklusi

Pada masa Romawi kuno, Perempuan banyak dijadikan budak seks serta dijuluki pabrik bayi. Maraknya childfree sebagai lifestyle memang sedikit banyak dipengaruhi sentimen-sentimen sejarah di masa lalu. Meski terkesan karena pilihan pribadi, Childfree sebenarnya berhubungan dengan Child free day yang dikampanyekan oleh National Organization for non parent (NON) di Amerika Serikat pada tahun 1972-1973. Childfree tidaklah lepas dari diskursus Perempuan dan anak. Dalam ranah filosofis Childfree, Perempuan dianggap memiliki kedaulatan mutlak atas reproduksinya. Artinya, perempuan berhak memilih untuk mempunyai keturunan atau pun tidak. Kompas kebenarannya adalah kebebasan, childfree by choice.

Sedangkan perempuan dalam persepektif muslimah adalah manusia yang menjalankan ibadah dan kekhalifahan di muka bumi, sama fungsi utamanya dengan laki-laki (Q.S dz-Dzariyat (5): 56). Perbedaan mendasar kedua pandangan tersebut terdapat pada sadar kedaulatan. Perempuan penganut childfree lebih banyak memahami bahwa kedaulatan tubuh mereka bersifat mutlak. Sedang muslimah meyakini bahwa fungsi utamanya adalah sebagai khalifah fil ardh, pengemban misi kekhalifahan yang orientasinya bukan materi semata. Ia menyadari, bahwa tubuhnya dan seluruh semesta bukanlah milik pribadi sebagaimana kedaulatan tubuh yang dikampanyekan kaum materialis, melainkan mutlak milik Allah SWT.

Pandangan alam ukhrawiyah tersebut telah menghapus sekat kebenaran yang terbatas hanya pada dunia materi. Muslimah sadar akan esensi infinitive di luar dirinya bersamaan dengan misi kekhalifahan yang ia yakini. Ia sadar esensi biologis yang dianugerahi oleh Tuhan harus dimaksimalkan melalui jalur spiritual dan intelektual agar perjalanannya menuju al-Haqq tidak menyimpang. Dan potensi tersebut hanya dapat diraih dengan ilmu. 

Saat perempuan berstatus sebagai anak, Ia berkewajiban mencari dan mempelajari  ilmu yang benar agar segala tindak tanduknya tertuju pada al-Haqq sebagai khalifah fil ardh, sebab hanya dengan mempelajari ilmu yang benar, seorang manusia dapat berperilaku yang baik dan beradab kepada orang tua dan sekitarnya, sesuai karakter kekhalifahan. Saat perempuan berstatus sebagai istri, ia pun harus lekat terhadap ilmu. sebab hanya melalui ilmu, ia akan mampu menjaga keseimbangan dan keharmonisan dalam keluarganya. Ia sadar status dan perannya yang bersifat komplementer dan saling membutuhkan dengan suaminya. Begitupun saat ia menjadi ibu, perannya semakin sentral seiring kematangan potensi biologis dan psikologisnya sebagai madrasah pertama untuk anak-anaknya, kualitas spiritual dan intelektualnya akan semakin dibutuhkan dalam siklus ini. 

Sampai di sini sekiranya jelas, Pandangan muslimah terhadap anak sudah pasti jauh berbeda dengan perspektif childfree. Ia sama sekali tidak memandang anak sebagai beban ekonomi, sosial maupun mental. Ia justru menempatkan anak sebagai anugerah yang memiliki status paling inti dari pernikahan. Anak adalah bagian dari keluarga, dan keluarga adalah bagian dari masyarakat yang jangkarnya menancap kuat di tiap-tiap penjuru peradaban. Keluarga adalah satu-satunya tempat berseminya keintiman yang terpsesialisasi pada fungsi emosional dan tempat pengasuhan tiap individu yang beradab.

Masyarakat yang beradab, adalah individu-individu yang beradab pula. Misi kekhalifahan yang berorientasi ukhrawi telah memberikan pandangan kritis terhadap tiap-tiap fenomena, termasuk dalam menimbang konsep childfree. Anak bukanlah objek, melainkan anugerah dan subjek kekhalifahan yang nantinya akan meneruskan aliran amal jariyah setelah orang tuanya wafat. (red).

Penulis : Ratna Dwi Ambarwati

(Ummu Binurizzaman)


  • Tags
default ads banner CODE: NEWS / BANNER 2 / 468x60

You can share this post!

Komentar