NWDI Online. Com - MAULANA Hamzanwadi bernama lengkap TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Beliau ulama besar dan tokoh kharismatik bergelar Pahlawan Nasional satu-satunya dari NTB. Kebesaran nama dan pengaruhnya, menunjukkan kebesaran ide, gagasan, pemikiran, pandangan dan karyanya.
Hamzanwadi sendiri merupakan akronim dari "Haji Muhammad Zainuddin Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiayah", singkatan nama yang disanding dengan salah satu karya agungnya. Sebuah karya yang oleh warga nahdliyyin selalu dirayakan setiap tahun bernama "HULTAH NWDI" (Hari Ulang Tahun Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiayah) sebagai wujud syukur pada Ilahi.
Kiai Hamzanwadi sebagai ulama besar, tentu memiliki segudang ide, gagasan, pemikiran, pandangan yang super visioner, salah satunya adalah perhatian dan perjuangan beliau yang intens terkait emansipasi (persamaan hak) antara laki-laki dan perempuan.
Sebelum saya mengutarakan sekian wujud nyata ikhtiar intens Maulana memperjuangkan hak-hak perempuan, terlebih dahulu kita ingin tahu apa motivasi beliau memperjuangkan emansipasi perempuan? Hemat saya, adalah dilatar belakangi oleh besar dan dalamnya pemahaman beliau akan sekian banyak teks-teks agama terkait pentingnya perempuan mendapat porsi yang sama dalam hak dan kewajiban sebagai manusia.
Bukankah dalam sekian banyak ayat, Allah SWT sering menyandingkan perempuan bersama laki-laki semisal kesamaan balasan dalam setiap amal yang dilakukan oleh mereka masing-masing? Berikut ayatnya: “Dan barangsiapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tanpa hisab.” (QS. al-Mukminin: 40).
Kesan kesetaraan gender yang sama bisa dibaca pada QS an-Nisa:124, an-Nahl: 97, al-Hujurat: 13, dan az-Dzariat: 56 dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya. Dalam posisi ini, Maulana sudah khatam terkait makna, tafsir dan pesan-pesan sekian ayat mulia tersebut saat studi di Madrasah Shaulatiyyah Makkah (1923-1934 M.), hanya tinggal diwujudkan saja sepulang dari Tanah Suci itu.
Tercatat dalam sebuah buku yang ditulis sebagai persyaratannya menjadi Pahlawan Nasional yang ditulis secara ber-tim, bahwa Maulana Hamzanwadi pulang dari rihlah ilmiah-nya pada tahun 1934 M. Semenjak kepulangannya hingga beliau wafat (21-10-1997), tercatat sekian wujud nyata beliau berikhtiar memperjuangkan emansipasi perempuan, dan hingga kini perjuangannya masih kita rasakan manfaatnya.
Pertama, didirikannya lembaga pendidikan bernama Madrasah Nahdlatul Banat Diniyah Islamiayah (NBDI) pada 21 April 1943. Lembaga ini menjadi wadah membentuk dan mengkanalisasi intelektual perempuan sehingga peluang memiliki ilmu dan kecakapan sejajar dengan lelaki.
Uniknya. Madrasah untuk kaum hawa ini lahir jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, tetapi di kemudian hari, tanggal dan bulan yang sama disahkan negara sebagai Hari Kartini (berdasarkan Keppres RI No. 108 Tahun 1964) sebuah simbol kebangkitan perempuan Indonesia. Tentu, ini kalau dilihat dari kacamata sufistik, ada maziyah (keistimewaan) tersendiri.
Di sisi lain, mementum kehadiran NBDI ini adalah di saat penduduk negeri waktu itu, masih menganut paham animisme. Artinya apa? Maulana pasti dianggap membawa “barang baru”, dan pasti ramai dengan penolakan, tetapi beliau tak bergeming oleh sekian penolakan mereka.
Lantas pertanyaan mendasarnya, mengapa Maulana begitu “nekat” mendirikan madrasah untuk kaum perempuan? Dalam buku "Demi Umat Demi Bangsa" ditulis bahwa napas utama beliau ialah menjalankan apa yang diproklamirkan Baginda Nabi SAW bahwa, "Menuntut ilmu adalah wajib kepada Muslim laki-laki dan perempuan."
Untuk poin pertama ini, nyata pendirian NBDI difondasikan Maulana dengan energi ruhiyah sehingga tersambung antara perjuangan beliau dengan kehendak pemerintah di kemudian hari. Selain itu, pendirian NBDI ini dienergikan dengan satu keyakinan teguh bak karang, yang tak goyah oleh cemooh dan rintangan.
Kedua, dibuatnya Hizib Nahdlatul Banat. Kalau berdirinya NBDI sebagai upaya mencerdaskan perempuan secara intelektual, maka pada penyusunan Hizib Nahdlatul Banat ini dihajatkan Maulana sebagai jalan kaum Hawa memperkaya dan memperkokoh spiritual.
Saya meyakini, Maulana Hamzanwadi tahu betul bahwa kehidupan di masa depan tidak semua bisa dihitung secara matematis (satu tambah satu jadi dua). Karena itu, perjalanan hidup umat manusia ke depan harus berbekal spiritual, sebab pada kerja manusia banyak terlibat kehendak Ilahi.
Bila kita menilik isi Hizib Nahdlatul Banat ini, terlihat sekali kedahsyatan pesan yang disampaikan, yakni antara lain: prinsip hidup, prinsip berkeyakinan (iman), prinsip sosial dan masih banyak lagi lainnya. Termasuk napas-napas perjuangan untuk bangkit sebagai kaum perempuan maupun sebagai manusia sosial, semua terbersit jelas dalam bait-bait doa yang ditulis Sang Maulana. Nah, ketika hizib ini terus didengungkan dengan pemahaman dan penghayatan yang utuh dari kaum Hawa, maka mereka pasti memiliki energi untuk bangkit, maju, bekerja dan berkarya (termasuk di ruang publik).
dan penghayatan yang utuh dari kaum Hawa, maka mereka pasti memiliki energi untuk bangkit, maju, bekerja dan berkarya (termasuk di ruang publik).
Ketiga, terbentuknya Pengurus Muslimat Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiayah (NWDI) sebagai bagian yang memperkuat roda organisasi. Kenyataannya, Muslimat selalu tampil terdepan dalam banyak even organisasi dan kebangsaan.
Sampai di sini, amat Nampak ketajaman pandangan Maulana Hamzanwadi sebagai inisator dan atau pelopor dalam hal ini, bahwa beliau tidak membekali kaum perempuan untuk cerdas secara intlektual dan spiritual semata, tetapi juga mereka dibekali kecakapan menata sesuatu secara struktural, atau dengan kata lain perempuan diajarkan cara bekerja secara tim, dan ini snagat penting karena perempuan (harus) keluar sebagai manusia sosial.
Keempat, termasuk hal yang menjadi bagian dari wujud perhatian Maulana Hamzanwadi dalam menjaga emansipasi perempuan adalah mereka dibukakan ruang kreasi dalam bidang seni. Lagu-lagu perjuangan yang dikarang Maulana banyak dinyanyikan oleh tim paduan suara dari Banaat (kaum perempuan).
Kalau saja, Maulana tidak memiliki literasi yang tinggi, wawasan yang luas dan pemahaman yang moderat, maka pasti beliau akan menyempitkan ruang kreasi seni dan ruang kebebasan Banaat (kaum perempuan) atau thaalibat (santriwati) yang beliau didik sendiri.
Pesan moral. (1) Kehadiran Madrasah NBDI menjadi karya nyata Maulana Hamzanwadi mendidik kita supaya menyediakan wadah yang sama bagi kaum lelaki dan perempuan dalam hal upaya mencerdaskan intlektual; (2) Dikarangnya khusus Hizib Nahdlatul Banat, pun menjadi sinyal penting dari Maulana supaya kita mendidik kaum Hawa agar memiliki kecerdasan spiritual.
(3) Wadah struktural dalam suatu organisasi yang menghimpun muslimat, adalah sebaik-baik bukti bahwa Maulana memiliki porsi kepercayaan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam ranah pengabdian, dengan harapan supaya perempuan juga memiliki kecakapan kerja tim secara struktural; dan (4) Tetap membuka keran emansipasi perempuan selama masih batas kewajaran meski berhadapan pandangan dengan pihak lain yang kurang literasi. Dalam hal ini, Maulana tidak kekurangan hujjah untuk memberi ruang yang sama bagi paduan suara dari kaum perempuan.
Isyarat moral. (1) Perempuan harus memiliki kecerdasan intlektual, kecerdasan spiritual, kecakapan struktural dan jiwa seni yang tetap menjunjung moral, dengan jalan ini emansipasi perempuan menjadi terwujud dan indah; (2) Bagi orang yang masih menolak kehadiran perempuan di ruang publik, adalah sama halnya ia masih berkutat pada literasi dangkal, pergaulan sempit dan masih merawat karakter jahiliah yang ketika mendengar kelahiran bayi perempuannya ia bermuka hitam murka (baca QS. an-Nahl: 58).
(3) Kehadiran Umi Rohmi di ruang publik, sebagai Cagub NTB 2024 ini adalah upaya nyata bahwa perjuangan Maulana Hamzanwadi itu terbuka dan terwujud; dan (4) Secara pribadi, Umi Rohmi memiliki tanggung jawab moral untuk mewujudkan dan membuktikan bahwa apa yang diperjuangkan kakeknya, adalah baik dan benar, serta sudah dimulai dari keluarga Sang Pelopor (Umi Rohmi, zuriat dan cucu pertama). Wa Allah A’lam! (*)
Penulis : M. Rusli Nasir, Sekretaris PC NWDI Kediri Lombok Barat
Komentar