default ads banner CODE: NEWS / LARGE LEADERBOARD / 970x90

Menanamkan Kebanggaan Pada Lembaga Pendidikan Hamzanwadi

Menanamkan Kebanggaan Pada Lembaga Pendidikan Hamzanwadi
Opini
Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Hamzanwadi
default ads banner CODE: NEWS / BANNER 1 / 468x60

NWDI Online. Com - Hari ulang tahun ke-86 Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah baru saja berlalu (29 Agustus 2021). Pasang surut dan suka duka mewarnai perjalanan madrasah ini sejak dilahirkan 86 tahun silam, tepatnya tahun 1935 Masehi.

NWDI yang lahir di tengah “Juhala'nya” masyarakat Sasak di bawah penjajahan kolonial Belanda, kini telah menjelma menjadi sebuah kekuatan dalam dunia pendidikan, dengan melahirkan ribuan madrasah yang tersebar di seantero jagat nusantara. Dari jenjang pendidikan anak usia dini sampai perguruan tinggi telah ia lahirkan.

Lalu pertanyaan yang muncul sekarang, apakah kita sudah bangga terhadap apa yang telah dicapai NWDI?

Sebelum kita jawab, mari kita urai apa sih sebenarnya yang dimaksud dengan kata bangga?

Menurut KBBI bangga berarti besar hati; merasa gagah (karena mempunyai keunggulan) yang apabila ditambahkan imbuhan ke-an menjadi “kebanggaan” akan bermakna kebesaran hati, perasaan bangga, kepuasan diri, sikap jiwa yang terwujud dalam menghargai warisan budaya, hasil karya, dan hal-hal lain yang menjadi milik bangsa. (yang tentu saja dalam hal ini menghargai apa yang telah dicapai oleh NWDI).

Memiliki rasa bangga terhadap suatu lembaga maupun komunitas dimana kita berada merupakan hal yang sangat penting. Rasa ini dapat membawa seluruh sikap kita untuk menunjukkan keunggulan dari lembaga maupun komunitas kita tersebut.

Terkait pertanyaan diatas, nyatanya kita masih belum memiliki kebanggaan terhadap apa yang telah dicapai oleh NWDI sebagai madrasah maupun NWDI yang kini telah bertransformasi menjadi sebuah ormas.

Dalam kehidupan sehari-hari, kebanyakan dari kita lebih suka mencari aman, tanpa berani membusungkan dada mendeklarasikan diri bahwa kita adalah NW ataupun NWDI.

Kemudian dalam dunia pendidikan, kita, anak kita, saudara maupun kerabat, lebih bangga kita lihat masuk PIKULTAS (baca Fakultas) ternama di Mentaram ketimbang memilih lembaga pendidikan yang bernaung dibawah Yayasan Pendidikan Hamzanwadi.

Mengutip apa yang disampaikan Bapak Wakil Rektor I  Dr. H. Khirjan Nahdi, M. Hum saat membuka kelas perdana Pasca Sarjana di Auditorium tingkat 3 Universitas Hamzanwadi, Sabtu (25/9/2021) yang mengatakan bahwa kita masih belum bangga dengan apa yang kita miliki.

“Seharusnya kita bangga dengan memiliki Universitas Hamzanwadi,” ungkapnya.

Tapi, ya sudahlah, itu kan perspektif! Kita tidak akan berpanjang kalam, karena inti dari pembahasan kita adalah bagaimana kita menumbuhkan kebanggaan terhadap perguruan tinggi yang ada di Pancor, semisal Institut Agama Islam Hamzanwadi (IAIH) Pancor, Ma’had DQH, dulu saat menepuh S1 di IAIH ada LPWN, dan tentu saja kampus kita yang dulu dikenal dengan nama STKIP, tapi setelah 2016 menjelma menjadi Universitas Hamzanwadi, kereeen khan?

Ok. Kita mulai saja, sebelum akhirnya melabuhkan pilihan menjadi mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Hamzanwadi. Sebenarnya, sebagai alumni IAIH saya sangat berharap bisa melanjutkan Pasca di Kampus Birrul Walidain yang kini sangat megah usai saya tinggalkan 2008 silam. Anda bisa bayangkan, dari saat itu sampai detik ini saya masih mengharapkan bisa S2 di IAI Hamzanwadi Pancor.

“Jika jurusan tidak linier, ya paling tidak tempatnya lah yang linier,” pikiran sederhana saya yang kerjaannya ngluntang lantung ngintip kegiatan orang untuk diberitakan.

Apakah diantara angkatan pasca saya ini ada yang berpikir sama dengan saya, atau barangkali pembaca yang budiman? Atau mungkin pilihan utama saudara-saudara malah di Mataram, Surabaya, Jogja bahkan Jakarta menjadi dambaan untuk menjadi tempat S2? Dengan fakta bahwa hampir semua program studi di kota-kota tersebut telah terakreditasi A, dengan fasilitas penujang yang serba ada. Maka tidak mengherankan jika pertanyaan tersebut disodorkan banyak yang menjawab bahwa kuliah di ibu kota merupakan pilihan pertamanya. Jadi, perguruan tinggi yang ada di Pancor hanya dijadikan opsi kedua, bahkan ketiga.

Bayangan indah untuk bisa menjadi mahasiswa di ibu kota, di “Mataram”, di kota “keraton” Jogyakarta, atau di “kota kembang” Bandung; tentu saja merasuk hingga relung hati terdalam.

Dalam ilmu psikologi dinyatakan bahwa melupakan mimpi indah itu bukanlah hal mudah. Padatnya kegiatan, diakui atau tidak, dapat mengalihkan perhatian tersebut, dengan seolah-olah telah dapat mereguk menikmatnya kehidupan perkuliahan di kampus idaman kita. Tetapi sebenarnya, “rindu dendam” itu masih ada dan termanifestasikan dalam bentuk rendahnya perasaan bangga dan kesadaran bahwa kita merupakan bagian dari PANCOR.

Bangga dalam konteks ini bukanlah kesombongan, tetapi bangga yang mengarah pada perasaan ikut memiliki dan merasa bagian dari kelompok, bagian dari civitas akademika, bagian dari lapak pedagang yang ada disekitaran Taman Makam Pahlawan Nasional TGKH. Zainuddin Abdul Majid. Meminjam istilahnya McMillan dalam teori Sense of Community, ia menyebutkan kebanggaan itu sebagai spirit atau membership. Kebanggaan itu dapat mengantarkan kita menjadi mahasiswa yang bersemangat untuk bergiat diri guna mengangkat nama baik perguruan tinggi yang ada di Pancor hingga ke kancah regional bahkan internasional. Meskipun ada sekolah maupun perguruan tinggi yang di luar Pancor pada aspek-aspek tertentu lebih baik dari Pancor, tetapi kita harus menerima kekurangan dan kelebihan yang ada sebagai hal yang harus diperbaiki dan ditingkatkan bersama.

Sebagai catatan, ada beberapa hal yang bisa menjadi pendorong sehingga kita mau membuka diri dan menanamkan rasa bangga terhadap sekolah maupun perguruan tinggi yang ada di Pancor.

Pertama: Mari membuka mata dan bersyukur! Harus diakui sekolah maupun perguruan tinggi yang ada di Pancor belum menjadi yang pertama di NTB bahkan Indonesia, namun kita harus menanamkan keyakinan bahwa semua perangkat civitas akademika yang ada di Pancor sudah bertekad bulat untuk menuju kesana. Selain itu, kita sadar bahwa sebenarnya banyak sekolah maupun perguruan tinggi lain yang masih berjuang untuk setidaknya sejajar dengan Pancor.

Ketika fasilitas fisik seperti ruangan kelas yang mungkin tidak nyaman, perpustakaan dengan koleksi buku dan jurnal yang mungkin juga tidak lengkap, di tempat lain tak sedikit mahasiswanya harus bersabar atas proses belajar-mengajarnya yang tak senyaman di Pancor akibat ruangan kelas dan tenaga pengajarnya yang kurang memadai. Lalu bagaimana mungkin kita yang mengaku diri kader, anjum ini tidak bersyukur?

Hal kedua yang menjadi alternatif untuk bisa menumbuhkan rasa bangga menjadi bagian civitas akademika di Pancor adalah dengan menjadi perwakilan Pancor dalam segala event yang digelar (tentu sesuai dengan minat dan bakat masing-masing tentunya). Contoh teranyar, Sulis LIDA 2021 yang berhasil menyabet juara II, ia dalam beberapa kesempatan mengungkapkan kebanggaanya menjadi Mahasiswi Universitas Hamzanwadi.

Nah, dengan menjadi perwakilan, maka akan muncul keinginan kuat dalam diri kita untuk membela dan memberikan yang terbaik kepada almamater. Bukankah ini motivasi yang sangat baik?

 Ketiga, menyadari bahwa mengeluh justru akan merugikan diri sendiri. Ada sebuah cerita menarik, kejadiannya sekitar tahun 2001 atau 2002 saya lupa ingat, saat itu saya masih tingkat I MDQH. Jadi ceritanya, pada tahun itu ada penerimaan CPNS (tentu banyak peminatnya khan, khan, khan…!). Saat ujian seleksi, sebelum masuk kelas, para peserta saling memperkenalkan diri dan menyebutkan almamaternya masing-masing, ada yang menyebut UNRAM, UIN Malang, UGM dan lain-lain, pokonya kampus yang ternamalah. Nah diantara sekian peserta tersebut, ada alumni jurusan bahasa Inggris dulu namanya masih STKIP, ketika gilirannya ditanya, tanpa ragu dan penuh kebanggaan ia menyebut almamaternya UNDIP alias UNIVERSITAS DI PANCOR. Setelah mengetahui itu, pesertanya banyak yang memandang dengan sebelah mata. Namun, (bisa kita sebut kakak senior) kita ini tak menganggap hal tersebut sebagai persoalan.

Ia memilih BANGGA menjadi mahasiswa UNIVERSITAS DI PANCOR (UNDIP), bersyukur dan menikmati itu semua. Akhirnya, ia pun memetik hasil dari KEBANGGAanya. Ia lulus jadi PNS mengajar bahasa Inggris di sebuah SMP negeri dan menyingkirkan pesaingnya yang notebene almamater mereka lebih beken. Adalagi senior saya di IAIH, sekarang ia di Kemenkumham Denpasar, dan masih banyak kisah membanggakan dari alumni UNDIP.

Akhir kata, di atas langit masih ada langit. Sekalipun jika kita menjadi mahasiswa maupun pelajar di tempat terpencil sekalipun, pasti akan ada satu-dua aspek dimana sekolah maupun perguruan tinggi lain lebih unggul. Maka banggalah dan bersyukurlah telah menjadi bagian dari UNDIP. Lantas mengapa kita yang mengaku kader tidak memilih untuk menjadi mahasiswa di Pancor, Warisan Guru Besar Kita Maulanasyaikh? Mari kita mensyukuri dan mencintai apa yang telah Alloh berikan kepada kita, berupa madrasah NWDI sebagai embrionya, untuk kemudian kita isi dan lengkapi kekurangannya. Wallhu A’lamu Bishshowaab. (red)

Oleh : Ahmad Zulkarim, penulis jalanan yang kini menjadi Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Hamzanwadi


  • Tags
default ads banner CODE: NEWS / BANNER 2 / 468x60

You can share this post!

Komentar