NWDI Online. Com - Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (PB NWDI) Tuan Guru Bajang Dr HM. Zainul Majdi, MA., merayakan hari ulang tahunnya yang ke 51 dengan berziarah ke Makam Pahlawan Nasional TGKH. M. Zainuddin Abdul Madjid yang sekaligus kakek beliau. Usai berziarah beliau menuju kampus Ma'had Darul Qur'an Wal Hadits NWDI Pancor yang dikelilingi oleh thullab dan tholibat Ma'had.
Sejak kepulangannya dari Mesir tahun 1997, Zainul Majdi atau TGB lansung aktif berkeliling dakwah ke desa dan dasan di segenap penjuru pulau Lombok-Nusa Tenggara Barat. Ia lansung mendapat sambutan hangat dari masyarakat, dan dengan segera ia menjadi populer. Setidaknya, penerimaan masyarakat terhadap TGB karena dua modal sosial penting yang dimilikinya: sebagai cucu pendiri Nahdaltul Wathan, dan kepiawaiannya dalam ceramah agama. Dua hal itulah kelak, yang membuatnya masyhur disebut “Tuan Guru Bajang”.
Hari ini TGB berulang tahun yang ke-51. Di usianya yang semakin matang, TGB bukan hanya dikenal sebagai ulama' seperti awal-awal kepulangannya dari Mesir, namun kini ia lebih dikenal sebagai tokoh nasional asal NTB. Mula-mula TGB memulai karir politiknya pada tahun 2004 atas ajakan Yusril Ihza Mahendra. TGB kemudian menjadi anggota DPR RI melalui Partai Bulan Bintang (PBB) 2004-2009. Persahabatan TGB dan Yusril mengingatkan kita pada persahabatan Tuan Guru Zainuddin Abdul Madjid dengan Mohammad Natsir (dua tokoh Masjumi di masa Orde Lama). TGB adalah cucu Tuan Guru Zainuddin, sementara Yusril adalah murid kesayangan Natsir.
Derap langkahnya sebagai figur ulama’–pendakwah menjadi seorang politisi, mengejutkan banyak orang. Bahkan, langkahnya tidak disetujui sebagian kalangan. Namun ia tetap kukuh dan bertanggung jawab atas pilihannya memasuki dunia politik; sebuah ‘gelanggang baru’ yang ditempuh dalam perjuangannya mengemban peran ganda. Meminjam istilah Muhammad Iqbal “men of prayer and “the politician”. TGB mengemban otoritas religius dan otoritas politik secara bersamaan. Lebih-lebih ketika di usia yang yang masih sangat muda (36 tahun), TGB berhasil menjadi gubernur NTB selama dua periode (2008-2013/ 2013-2018).
Kehadiran TGB di panggung politik lokal telah menciptakan sejarah dan tradisi politik baru dalam demokrasi lokal pasca reformasi. Yakni tampilnya kalangan sipil-pesantren dalam dunia birokrasi. Sejak tahun 1945 sampai runtuhnya Orde baru NTB (dulu provinsi Soenda Ketjil) tidak pernah dipimpin oleh orang lokal dari sipil-santri. Gubernur NTB selama bertahun-tahun sejak Indonesia Merdeka selalu dikirim dari Pusat-Jakarta. Misalnya nama-nama berikut (1)Ruslan Tjakraningrat 1958-1968 utusan Soekarno untuk menjadi Gubernur Soenda ketjil ; (2) H.R. Wasita Kusumah 1968-1973 dan 1973-1978 ( Militer); (3) Gatot Suherman dari 1978-1983 dan 1983- 1988 (militer); (4) Warsito dari 1988-199 dan 1993- 1998 (militer); (5) Harun Al Rasyid orang Bima 1998- 2003 (militer) (6) Lalu Serinata 2003-2008 bangsawan Sasak (Golongan Karya); (6) Muhammad Zainul Majdi 2008- 2013 Partai Bulan Bintang dan 2013-2018 melalui Partai Demokrat.
Keterpilihan TGB sebagai Gubernur menandai beberapa hal: Pertama, menandai berakhirnya dominasi kuasa militer dan bangsawan dalam daftar orang nomor satu di NTB. Kedua, menandai kesuksesan mobilitas politik kaum santri dalam politik lokal. Ketiga, TGB menjadi tuan guru pertama yang berhasil merebut kursi Gubernur dalam sejarah Nusa Tengara Barat.
Dengan latar keilmuan di bidang tafsir Al-Qur’an, TGB sempat diragukan dan dianggap tak memiliki kecakapan birokratif. Namun dalam kepemimpinannya TGB menerapkan prinsip “learning by doing”. Ia Pelan-pelan mengasah kapasitasnya sebagai birokrat. Sehingga selama dua perio kepemimpinannya, TGB sukses membangun NTB ke arah yang lebih baik. Selama 2014-2016, misalnya, laju pertumbuhan ekonomi NTB meningkat menjadi 9,9 persen. Prestasi ini membuat NTB diganjar predikat pertumbuhan ekonomi terbaik. Bahkan melampaui nasional yang hanya sebesar 4,9 persen. TGB juga berhasil menurunkan angka pengangguran di NTB hingga 3,32 persen. Pada 2017 TGB juga meraih penghargaan sebagai salah satu Gubernur terbaik versi Kementerian Dalam Negeri. Penghargaan itu didasarkan pada penilaian aspek kepemimpinan, kredibilitas dan akseptabilitas dalam rangka menciptakan pemerintahan bersih. Selain itu, laporan “ACI Lee Kwan Yew School of Publicity”, universitas Singapura merilis, tingkat daya saing NTB naik drastis dari peringkat 26 pada 2015 menjadi 19 pada 2016. Dan masih banyak lagi prestasi TGB selama memimpin NTB.
Suatu hari di tahun 2016, TGB menyambut kedatangan Presiden Jokowi ke Lombok menghadiri Hari Pers Nasional. Tahun itu kebetulan NTB bertindak sebagai tuan rumah. Dalam pidato sambutannya TGB menyelipkan kritik tajam namun elegan kepada Presiden Jokowi. TGB meminta presiden Jokowi untuk menghentikan kebijakan impor beras. dari atas podium TGB mengatakan: “Kami berharap Bapak Presiden, kalau bisa tidak ada impor beras. NTB menghasilkan sekitar 1,3 juta ton beras per tahun”. Ternyata di balik sikap dinginnya, TGB menyimpan sikap kritis yang tajam.
Gaya kepemimpinan TGB tidak bisa dilepaskan dari rekam jejak intelektualnya selama Rihlal ke Al-Azhar Mesir hingga jenjang doktoral. Al-Azhar telah membentuk nalar keislamannya di jalur “wasatiyyah Islam”. Bersamaan dengan itu, pengalaman dan kerja-kerja politiknya sebagai pejabat publik (Gubernur NTB) selama sepuluh tahun (2008-20018), semakin mematangkan wawasan kebangsaanya dan mengokohkan komitmennya pada persenyawaan harmonis antara keislaman dan keindonesian.
Mona Abaza dalam karyanya ”Changing Images of Three Generations of Azharites in Indonesia (ISEAS Publishing, 1993)” menjelaskan tiga model generasi ulama Indonesia alumni Al-Azhar. Ia membabar keterhubungan Nusantara-Mesir dari generasi Al-Azhar masa kolonial; periode pascakolonial, dan generasi Al-Azhar di tahun-tahun 1970-1980-an. Kontribusi Alumni Al-Azhar dalam Indonesia modern tampak jelas pada ketokohan dan peran Harun Nasution, KH. Fahmi Zarkasyi Gontor, Gus Dur, Gus Mus, Quraish Shihab, dan lain-lain. Estafet alumni Al-Azhar kini dipegang oleh TGB Sebagai ketua Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar (OIAA) cabang Indonesia. Ia memimpin jaringan “Azhariyyun” yang yang menyebar di seluruh kawasan Indonesia.
Selama perkhidmatannya sebagai Gubernur NTB, TGB memperbanyak ruang perjumpaan dengan berbagai kalangan dan lapisan masyarakat. Bahkan tidak hanya di NTB, tetapi spektrumnya diperluas hingga penjuru-penjuru Indonesia melalui “Dakwah Nusantara”. TGB berjumpa dengan beragam kalangan dari pelbagai ideologi, kultur, dan agama. TGB hadir di tengah-tengah komunitas tradisionalis Islam pedesaan, modernis Islam perkotaan, kelompok nasionalis, dan bahkan kelompok Islamis kanan.
Di dalam banyak perjumpaan itulah, TGB menujukkan visi keislaman dan politik jalan tengahnya yang menjujung tinggi kebinekaan. TGB selalu berusaha berada di tengah-tengah dua kutub, mendayung diantara dua gelombang untuk menjaga keseimbangan. Riwayat TGB dalam politik maupun agama, selalu berada jalan tengah: antara Islam dan nasionalisme, antara tradisi dan modernitas, antara keummatan dan kebinekaan. TGB terus berselancar menghadapi persoalan-persoalan konkret dalam ruang keindonesiaan, dan mencari titik paling moderat dan maslahat. Kini TGB masih terus melangkah menjemput takdir sejarahnya dalam perkhidmatan kebangsaan.
Tim Redaksi TGB Institute
Komentar